Ketika Gunung Sinabung meletus, tanah  Karo pun berduka. Sudah lebih empat abad mereka hidup damai di sana.  Berkah Sinabung terus mereka raup. Kesuburan tanahnya sungguh dapat  menjadi gantungan hidup selama ini. Tiba-tiba gunung setinggi 2451 meter  dpl ini memuntahkan laharnya. Tanpa pertanda yang jelas, hanya ada  sedikit hujan abu dua hari sebelumnya.
Sinabung memberi warna pada kehidupan  orang Karo, yaitu suku yang wilayahnya meliputi Gunung Sinabung-Sibayak,  Medan, Binjai, sebagian Kabupaten Dairi, hingga ke Aceh Tenggara.  Setidaknya ada 5 marga yang dikenal Orang Karo, yaitu Karo-karo,  Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Paranginangin. Setiap marga memiliki  sub-marga, misalnya ada Karo-karo Kaban, Sembiring Meliala, Ginting  Munthe, Paranginangin Uwir, Tarigan Tuakampong, dan lainnya.
Orang Karo adalah orang pegunungan, yang  memiliki hubungan yang erat dengan alam. Tanah yang subur membuat orang  Karo hidup berkecukupan sebagai petani. Sayur, buah, seperti kubis,  wortel, kentang, bunga kol, jeruk, markisa, tumbuh dengan lebat dan  dapat dipanen dengan hasil berlimpah. Siapa sih yang tak kenal dengan  markisa dan timun belanda? Di Karo-lah kedua buah itu ditanam.
Bagi pemerintah propinsi Sumatra Utara,  Sinabung dan Tanah Karo menjadi aset wisata yang berharga. Siapa yang  tak kenal Berastagi, Kabanjahe, Taman Hutan Liar atau Tahura, Lau  Debuk-Debuk, Gundaling, Desa Lingga, juga Danau Lau Kawar. Kalau Anda  pernah singgah ke Medan, nama yang disebut di atas tentulah tak asing  lagi. Itu adalah beberapa tujuan wisata utama Sumut. Mengenal lebih  dekat wisata Tanah Karo, bisa menebalkan kecintaan akan tanah air.
Berastagi
Bukan orang Medan namanya jika belum  menginjakkan Berastagi. Kota sejuk di lereng Sinabung ini menjadi tujuan  wisata utama orang Medan. Bisa ditempuh dengan satu jam berkendara,  kota yang berjarak 66 km dari Medan ini menjadi tujuan utama wisata  akhir pekan. Mirip kawasan Puncak bagi orang Jakarta, atau Selecta buat  orang Surabaya.
Di Berastagi kita bisa berbelanja sayur  dan buah dengan harga murah. Markisa dan timun Belanda segar selalu  tersedia di pasar. Berjalan sepanjang pasar memanjakan mata. Buah-buahan  segar dipajang berderet, dengan harga yang menggiurkan. Di pasar pula  bisa kita jumpai bunga-bunga segar, yang siap dirangkai untuk acara  pesta atau hajatan.
Saya bayangkan ketika Sinabung meletus,  tentulah pasokan sayur-mayur dan buah buat kota Medan menurun drastis.  Harga kedua komoditi ini bisa melangit. Ada juga sih beberapa daerah  yang menanam sayur dan buah, misalnya sekitar Tongging dan Sipiso-piso,  tapi hasilnya tak sebanyak di Berastagi.
Tak banyak yang tahu kalau Berastagi  pernah menjadi tempat pembuangan Bung Karno paska agresi militer  Belanda  22 Desember 1948. Namun Bung Karno tak lama disembunyikan  Belanda di sini. Awal Januari 1949 presiden pertama RI ini segera  dipindahkan ke Parapat. Rupanya Belanda takut diserbu Laskar Rakyat,  pejuang Karo yang pendukung berat BK.
Sebelum memasuki Berastagi akan kita  lewati papan nama bertuliskan ‘Tahura’. Itulah Taman Hutan Rakyat yang  menyajikan wisata di udara bebas yang menyenangkan. Di hari Minggu atau  hari-hari besar, Tahura ramai oleh pengunjung. Umumnya mereka adalah  yang merindukan kesejukan dan hijau pemandangan.
Gundaling
Bosan ke Pasar Beratagi, kita bisa  berkuda menaiki bukit Gundaling. “Goodbye Darling,” kata teman, artinya  di puncak bukit ini kerap sepasang anak manusia sejenak memadu kasih,  lalu berpisah. Kini mendaki Gundaling tak perlu naik kuda, banyak oto  yang siap mengantarkan kita kapan saja.
Dalam perjalanan ke Gundaling, kerap  kita jumpai kedai bertuliskan ‘Di sini tersedia susu kuda liar!’.  Maksudnya bukan susu kuda liar ala Sumbawa, karena kuda di sini tak lagi  hidup liar. Tapi secangkir kopi susu yang nikmat. Itu saja.
Sepanjang perjalanan bisa kita saksikan  hamparan kebun sayur dan buah, diselang-selingi rumah penginapan, mulai  hotel kelas atas hingga losmen sederhana. Gundaling memang tempat yang  strategis buat menghabiskan akhir petang. Di beberapa hotel kerap  diadakan pementasan tari tradisional Karo yang diiringi gendang Karo,  yaitu seperangkat alat musik terdiri dari sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung. Sepintas suaranya mirip gamelan Sunda.
Lau Debuk-Debuk
Kalau kita berkendara dari Berastagi  menuju Medan, ada pertigaan di kiri jalan dengan papan nama bertuliskan  “Lau Debuk-Debuk’. Menempuh jalan beraspal sekitar 300 m, lalu menurun  lewat jalan setapak, kita akan dituntun memasuki kawasan kolam-kolam  berwarna biru keruh. Beberapa pengunjung nampak berendam di situ.
Lau itu sebutan sungai atau sumber air  dalam bahasa Karo. Lau Debuk-debuk adalah sumber air panas yang  mengandung belerang. Konon sumber air ini berasal dari kawah Gunung  Sibayak. Lau Debuk-Debuk memang berada di pertemuan lereng antara Gunung  Sinabung dan Sibayak.
Lau Debuk-Debuk dipercaya mampu  menyembuhkan berbagai penyakit, baik penyakit kulit maupun organ dalam.  Di sini kerap pula dilakukan upacara bagi pemeluk kepercayaan Parmalim.  Tak jauh dari sumber air panas ini, terdapat makam tua yang dipercaya  sebagai makam pemuka Parmalim.
Parmalim merupakan kepercayaan yang  dianut suku Karo maupun Batak sebelum masuknya agama resmi negara  seperti Kristen, Islam, atau Hindu. Ajaran ini pernah dilarang sebelum  era reformasi. Kini pemeluk Parmalim bebas menjalankan ibadahnya.
Kabanjahe
Sepanjang perjalanan dari Berastagi  menuju Kabanjahe, Sinabung Jaya akan melalui areal pertanian yang subur.  Kadang terhampar kebun jeruk yang buahnya bergelantungan siap dipanen,  kadang kebun kubis, asparagus, bahkan juga kebun bunga. Sesekali kita  akan menjumpai para petani berjalan menuju kebunnya. Yang perempuan  mengenakan jujung, kain yang diletakkan di atas kepala dengan bentuk  kas. Yang lelaki memikul cangkul dan keranjang bambu.
Satu dua gereja dengan arsitektur  tradisional bermunculan. Sungguh tempat yang mempesona. Sudah subur  tanahnya asri pula pemandangannya. Nampak kuat  penduduknya memegang  tradisi.
Setengah jam kemudian sampailah kita di  Kabanjahe, ibukota Kabupaten Tanah Karo.. Kabanjahe tidaklah sedingin  Berastagi. Di sini terdapat Makam Pahlawan, lalu kedai kopi susu yang  sangat nikmat. Ada juga pasar kecil yang menjual kerajinan uis gara  –semacam ulos bagi orang Karo—yang harganya bisa ditawar. Penghuni kota  ini sangat ramah dan halus gaya bicaranya. Serupa orang Solo atau Jogja  kalau di Jawa.
Di Kabanjahe nampak toleransi beragama  antara muslim-nasrani. Tidak seperti Batak Toba yang mayoritas nasrani,  atau orang Mandailing yang mayoritas muslim, di Karo jumlah muslim dan  nasrani berimbang.
Desa Lingga
Mudah mencapai Lingga, cukup naik angkot  06 dari terminal Kabanjahe. Desa di  Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten  Tanah Karo, ini cukup unik. Terletak di ketinggian 1200 meter dari  permukaan laut, Lingga merupaka satu dari sedikit desa di Karo yang  menyisakan rumah adat Karo. Desa lainnya adalah Dokan, Peceren, Serdang,  Barus Jahe, Juhar, Gurusinga dan Cingkes.
Ada beberapa jenis rumah adat di sini. Ada jambur, waluh jabu, geriten, lesung, dan sapo page.  Geriten adalah tempat menyimpan tulang belulang, biasanya bentuknya  tertutup. Sedang lesung merupakan tempat menyimpan lesung yang akan  digunakan untuk menumbuk padi. Padi disimpan di sapo page.
Ada belasan waluh jabu yang tersisa di  Lingga. Yang paling tua berumur sekitar 200 tahun. Dinding waluh jabu  ini terbuat dari kayu, sementara atapnya dari rumbia. Banyak atap rumbia  itu berlumut tebal, menunjukkan betapa tua umurnya. Di bagian atas  rumah terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga  yang disebut ayo.
Biasanya sebuah waluh jabu di Lingga  memiliki dua atau empat ayo, menghadap ke arah yang berbeda. Di atas ayo  baru diletakkan kepala kerbau yang berfungsi untuk menolak bala.   Sayang banyak rumah adat yang rusak atau kurang perawatan.
Pada Revolusi Sosial tahun 1946, banyak  rumah adat yang dirusak dan dibakar rakyat.  Mereka takut waluh jabu  bakal direbut dan didiami Belanda kembali. Rumah adat  menjadi tempat  tinggal Sibayak dan keuarganya.
Bangunan semacam pendopo, Djambur Lingga  namanya. Jambur merupakan tempat berkumpulnya para tetua adat dan  lelaki. Ketika Sinabung meletus, Jambur menjadi tempat penampungan para  pengungsi karena tempatnya yang luas.
Sambil berkeliling Lingga akan kita  saksikan para pengrajin sagak, umumnya lelaki. Sagak atau bambu biasanya  dianyam untuk dibuat keranjang. Keranjang ini kerap digunakan untuk  mewadahi sayur dan buah yang dipanen. Selain berkebun, menjadi pengrajin  sagak merupakan pekerjaan penduduk desa.
Kalau ingin mengetahui lebih jauh  tentang budaya Karo, jangan lupa berkunjung ke  Museum Karo Lingga.  Walau koleksinya tak banyak, tapi museum ini cukup informatif menyajikan  pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan  aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional. Di depan museum  ada Gereja St Petrus, lumbung padi Ginting, dan kompleks kuburan Sibayak  dulu.
Lau Kawar
Di hari biasa, cukup sulit mendapatkan  angkot yang langsung menuju ke Danau Lau Kawar dari Berastagi. Minimal  kita harus berganti dua kali angkot, jurusan ke Desa Perteguhan, lalu  menuju ke Lau Kawar. Itupun mesti mencarter sopir agar mau mengantarkan  kita masuk ke lokasi danau. Itulah sebabnya, banyak pengunjung yang  memilih berwisata ke Lau Kawar di hari libur.
Ada sebuah legenda yang dihubungkan  dengan danau ini. Legenda tentang Desa Kawar. Konon desa ini tanahnya  subur, penduduknya pun hidup makmur, karena hasil panen berlebih. Suatu  hari diadakan pesta menyambut panen.  Seluruh penduduk diundang untuk  mengikuti jamuan makan, musik, dan tarian. Namun ada seorang nenek yang  tak bisa hadir karena dia lumpuh. Sendiri dia terbaring di ranjangnya.
Ketika orang sedang berpesta, makan  makanan  enak sepuasnya, nenek itu justru kelaparan di rumahnya. Anak  dan menantunya lupa siapkan makanan buat sang ibu. Baru sore menjelang  ketika cucunya datang membawa makanan yang dititipkan ibunya untuk si  nenek. Betapa kecewa hati nenek itu saat tahu bahwa makanan yang dibawa  cucunya adalah sisa-sisa makanan. Rupanya si cucu telah memakan sebagian  nasi tersebut. Nenek itu lalu menangis dan berdoa agar orang di desa  dikutuk Tuhan. Tak berapa lama turun hujan lebat. Desa Kawar pun  tenggelam, menjelma jadi Danau Lau Kawar.
Di hari biasa Lau Kawar amat sunyi.  Bentangan airnya berlekuk dan memantulkan biru laut dan hijau pepohonan  lebat di seberang danau. Danau ini luasnya sekitar 200 ha, berada di  Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera  Utara. Danau ini adalah satu dari dua danau di Kawasan Ekosistem Leuser  (KEL). Danau satunya adalah Danau Marpunge.
Di sekeliling danau ada rumah makan,  bangunan berbentuk rumah adat yang berfungsi sebagai penginapan, dan  jalan yang tertata rapi. Di musim liburan sekolah, bisa puluhan tenda  berjajar di sini. Danau ini merupakan salah satu pos pendakian favorit  menuju Gunung Sinabung. Butuh waktu sekitar 6 jam untuk menggapai puncak  Sinabung. Kalau kita hanya punya waktu pendek, cukup mendaki Deleng   Lancuk, puncak bukit terdekat.
Aset wisata ini sayangnya kurang digarap  serius oleh pemda Tanah Karo. Keterbatasan transportasi menjadi salah  satu kendala. Belakangan banyak warga Karo yang berharap pemda mulai  memberi perhatian khusus pada ekowisata. Bukankah Tanah Karo kaya akan  pertanian sayur dan buah? Itu bisa menjadi daya tarik yang potensial.  Semoga letusan Sinabung kali ini bisa menggugah pemda untuk lebih  memperhatika aset tanah Karo.









LIKE,
BalasHapuslope KARO ku
bujur...
BalasHapusmari kita lestarikan budaya karo....
BalasHapusbujur
BalasHapusMantab.,
BalasHapusMantab.,
BalasHapus